TUGAS KU
REVIEW BUKU
“Ayat-ayat cinta” Novel Islami karya Habiburrahman El-Shirazy
Ayat-ayat
cinta adalah sebuah novel 411 halaman sebuah novel fenomenal yang sudah
dilayarkacakan pada tahun 2004 dan filmnya akan diputar diseluruh Indonesia
pada tanggal 19 Desember tahun ini. Ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia
kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy.Ayat-ayat
cinta adalah sebuah novel 411 halaman sebuah novel fenomenal yang sudah
dilayarkacakan pada tahun 2004 dan filmnya akan diputar diseluruh Indonesia
pada tanggal 19 Desember tahun ini. Ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia
kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. PERAIH
PENGHARGAAN THE MOST FAVORITE BOOK 2OO5 ” Berbeda selisih 4 suara dengan Harry
Potter, akhirnya Ayat-Ayat Cinta terpilih menjadi The Most Favorite Book…”.
Ia adalah seorang sarjana lulusan Al Azhar University Cairo-Mesir. Founder dan
Pengasuh Utama Pesantren Karya dan Wirausaha BASMALAH INDONESIA, yang
berkedudukan di Semarang, Jawa Tengah dikenal secara nasional sebagai dai,
novelis dan penyair Beberapa penghargaan bergengsi berhasil diraihnya, antara
lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005 dan IBF
Award 2006. dan sekarang sudah kembali untuk tanah air Indonseia tercinta.
Sepintas
lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan
dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata
novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta
yang banyak disukai anak muda. Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang
tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan
menjadi penerus bangsa.
Sinopsis
novel Ayat-Ayat Cinta
Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang budaya; yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang melaksanakan studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro (sejenis trem).
Pada waktu
itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam
perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra
El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face
pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup
tersohor di seantero Mesir.
kepadanya
Fahri belajar tentang qiraah Sab’ah (membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh
imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling pokok). Hal ini sudah biasa
dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari Ahad/Minggu dan Rabu. Dia
sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan
badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak
semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif dalam memilih
murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.
Di dalam
metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus
berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan
seorang pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Mereka bercerita
tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak
berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua
perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu di antara dua perempuan
itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah.
Biasanya
orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak
mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka
yang teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek
hendak duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih
yang sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang
sebenarnya bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan
meminta maaf atas perlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal
perdebatan itu terjadi.
Orang-orang
Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan
si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada sang
gadis dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakan
perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasannya
dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya dan ternyata
berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan
perempuan bercadar itu benar dan umpatan-umpatan itu tidak layak untuk
dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu kembali marah dan
meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim karena juz Amma saja
belum tentu ia hafal.
Kemudian
emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu,
mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur’an dan juga
murid dari Syaikh Utsman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu
meminta maaf pada fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak
seharusnya bertindak seperti itu karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu.
Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang
asing sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mereka pun mengucapkan
terima kasih pada fahri karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule
perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi
dari si perempuan bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih. Kemudian Alicia
berterima kasih dan menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama
kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun.
Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya
tadi. Akhirnya mereka pun berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang
Mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
Referensi
/ Rujukkan
Mhd Darwinsyah Purba, S.Sos
0 komentar:
Posting Komentar